Category Archives: Uncategorized
etika profesi dan hukum kesehatan
makalah etika profesi dan hukum kesehatan
BAB I
KAJIAN KASUS
Berikut ini adalah salah satu contoh kasus nyata malpraktik yang dilakukan oleh bidan di daerah Jawa Timur berhubungan dengan kesalahan bidan yang menolong persalinan sungsang dan tidak merujuk ke fasilitas kesehatan yang berhak untuk menangani kasus tersebut. Inilah kisah tragis bayi Nunuk Rahayu :
Proses persalinan ibu yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis.Diduga karena kesalahan bidan, si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis.Kegagalan dalam proses melahirkan memang bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling buruk, si bayi meninggal juga bisa saja terjadi. Namun, yang dialami oleh Nunuk Rahayu (39 tahun) ini memang kelewat tragis. Ia melahirkan secara sungsang. Bidan yang menangani, diduga melakukan kesalahan penanganan. Akibatnya, si bayi lahir dengan kondisi kepala masih tertinggal di rahim!
Kejadian yang demikian tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk. Sore itu Selasa, Nunuk mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu dua anak ini berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah tangganya. Sang suami, segera berkemas-kemas dan mengantarkan istrinya ke bidan Tutik Handayani, tak jauh dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Batu, Malang, Jawa Timur.
Sesampai di tempat bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan untuk mengetahui keadaan kesehatan si bayi. “Menurut Bu Han (panggilan Tutik Handayani), kondisi anak saya dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena persalinan akan dimulai,” kata Wiji saat ditemui, Jumat (11/8).
Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap saja diliputi ketegangan. Apalagi, persalinan berlangsung cukup lama. “Setiap pembantu Bu Han keluar ruang persalinan, saya selalu bertanya apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu belum. Katanya, bayi saya susah keluar. Istri saya mesti diberi suntikan obat perangsang sampai dua kali agar jabang bayi segera keluar,” papar Wiji. Wiji sempat pulang sebentar untuk menjalankan salat magrib. Usai salat, lelaki berkumis lebat ini kembali ke bidan. Baru saja memasuki klinik bersalin, bidan Han ke luar dari ruang persalinan dengan tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik sejak tahun 1972 itu berteriak minta tolong kepadanya. “Pak, tolong bantu saya!” teriaknya kepada Wiji.
Lelaki yang sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak mengerti maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata Wiji langsung terbelalak begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam. Si jabang bayi memang sudah keluar, namun kepala bayi masih berada di dalam rahim. Di tengah kepanikan, bidan memintanya untuk menahan tubuh si bayi sedang kedua perawat bertugas menekan perut ke bawah untuk membantu mengeluarkan kepala bayi. Kala itu, kondisi istri Wiji antara sadar dan tidak. “Ia hanya bisa merinih kesakitan saja,” imbuh Wiji.
Selanjutnya, bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari rahim. Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak menggantung. “Saya tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik kemudian sampai lepas. Yang saya lakukan hanya terus istigfar,” tutur Wiji sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Kala itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak bungsunya sudah tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak ada gerakan sama sekali. Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum berhasil dikeluarkan. Wiji pun tak tega melihat penderitaan istrinya. “Saya berikan tubuh bayi saya kepada Bu Han.”
Lalu, Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan berjuang antara hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin panik. Bahkan, si bidan sempat mengeluh, “Aduh yok opo iki”. (aduh bagaimana ini). “Saya sudah tak berani melihat bagaimana bidan menangani anak saya. Saya hanya menatap wajah istri saya,” ujar Wiji.
Beberapa saat kemudian, selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan ditempatkan di ranjang sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi belum juga berhasil dikeluarkan. “Saya tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran saya sangat kalut,” urainya.
Dengan nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk membawa istrinya ke BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung ada mobil pick up yang siap jalan. Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr. Sutrisno, SpOG, langsung melakukan tindakan untuk mengeluarakan kepala si bayi dari rahim istrinya. “Baru setelah itu, kepala disambung kembali dengan tubuh bayi,” urai Wiji.
Si jabang bayi segera dimakamkan. Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu Manggali. “Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya, saya tetap memberinya nama, meski dia tak sempat hidup,” ujar Wiji.
Kepergian si jabang bayi mendatangkan duka mendalam bagi Wiji. Lantas apa langkah Wiji? “Setelah melakukan rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan kasus ini polisi,” kata Wiji yang selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya. Baik Wiji maupun Riyanto menyesalkan tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan bayi sungsang, seharusnya sejak awal bidan merujuk ke dokter kandungan. “Waktu itu, Bu Han bilang sanggup menangani. Makanya saya mempercayakan persalinan istri saya kepadanya,” papar Wiji.
Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan mengalihkan kesalahan kepada Wiji. “Misalnya saja pada saat bidan kesulitan mengeluarkan kepala bayi, bidan berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk menarik. “Untung saja Mas Wiji tidak mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran lalu putus, pasti yang disalahkan oleh Bu Han adalah Mas Wiji,” urai Riyanto.
Lelaki yang sehari-hari sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah ini tak menampik bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah menangani ribuan persalinan, termasuk dua anak Wiji. “Namun dalam kasus ini, Bu Han tetap saja salah. Makanya saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta. Ini adalah persoalan hukum, mari diselesaikan secara hukum,” tegas Riyanto.
Sementara Nunuk sendiri sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia sempat dirawat selama tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong memenuhi kamarnya yang sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup menceritakan saat-saat menegangkan dalam hidupnya. “Saya tak ingat persis bagaimana bisa seperti itu. Waktu itu perasaan saya antara sadar dan tidak karena sakitnya luar biasa,” ucapnya lirih.
BAB II
PEMBAHASAN
- A. PENDAHULUAN
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan apakah ada kelalaian atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang melekat pun belum pernah diambil.
Masyarakat hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik tersebut. Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa, pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu bagi kita terutama tenaga medis untuk mengetahui sejauh mana malpraktek ditinjau dari segi etika dan hokum.
- B. PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
- C. MALPRAKTEK DI BIDANG HUKUM
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
- Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional):
1) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
2) Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
3) Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan:
4) Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
5) Pasal 348 KUHP menyatakan:
6) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
7) Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita ter¬sebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
8) Pasal 349 KUHP menyatakan:
9) Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan di¬lakukan.
10) Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
11) Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
12) Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
13) pidana penjara paling lama lima tahun.
14) Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
15) Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipdana.
- Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
1) Pasal 347 KUHP menyatakan:
Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2) Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan di¬lakukan.
- Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
1) Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati :
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
2) Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
3) Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
Pasal 361 KUHP menyatakan:
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
- Civil malpractice
Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
- Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
- Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya. - Administrative malpractice
Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
- D. LANDASAN HUKUM WEWENANG BIDAN
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan. Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
- Syarat Praktik Profesional Bidan
- Harus memiliki Surat Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
- Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan, obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
- Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
- Dalam menjalankan praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.
- Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.
- Wewenang Bidan dalam Menjalankan Praktik Profesionalnya
Dalam menangani kasus seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
Pasal 14 : bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang untuk
memberikan pelayanan yang meliputi :
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan keluarga berencana
c. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pasal 15 :
(1) Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan) ditujukan pada ibu dan anak
(2) Pelayanan kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin , masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval)
(3) Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
Pasal 16 :
(1) Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
a. Penyuluhan dan konseling
b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d. Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens, hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia ringan.
e. Pertolongan persalinan normal
f. Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm dan preterm.
g. Pelayanan ibu nifas normal
h. Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
i. Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
(2) Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
a. Pemeriksaan bayi baru lahir
b. Perawatan tali pusat
c. Perawatan bayi
d. Resusitasi pada bayi baru lahir
e. Pemantauan tumbuh kembang anak
f. Pemberian imunisasi
g. Pemberian penyuluhan
Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16,berwenang untuk :
a. Memberikan imunisasi
b. Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas
c. Mengeluarkan plasenta secara secara manual
d. Bimbingan senam hamil
e. Pengeluaran sisa jaringan konsepsi
f. Episiotomi
g. Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
h. Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
i. Pemberian infuse
j. Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika
k. Kompresi bimanual
l. Versi ekstrasi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
m. Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
n. Pengendalian anemi
o. Peningkatan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
p. Resusitasi bayi baru lahir dengan asfiksia
q. Penanganan hipotermi
r. Pemberian minum dengan sonde/pipet
s. Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan formulir IV terlampir
t. Pemberian surat kelahiran dan kematian.
- Standar Kompetensi Kebidanan
Standar kompetensi kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi :
- Undang-Undang
UU Kesehatan No. 23 Th 1992
pasal 15
ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
- berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
- oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
- dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
- pada sarana kesehatan tertentu.
pasal 80
ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- E. PEMBAHASAN KASUS
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.
Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini angat perlu tidak hanya ntuk melindungi dar kesewenangan tenaga kesehatan seprti dokter atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan malpraktek.
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
- Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
- Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
- Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
- Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
- Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
- Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
BAB III
PENUTUP
Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu kesimpulan sehubungan dengan masalah malapraktek bidan, adalah sebagai berikut:
- Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh masyarakat, dan yang sekaligus merupa¬kan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus malapraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang malapraktek bidan di mass media karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa.
- Sedangkan altematif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini belum memadai, sehingga kasus-kasus malapraktek dijuimpai kandas di pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum untuk mene-mukan altematif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus malapraktek tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln,F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta.
luka bakar
KOMUNIKASI TERAPEUTIK PASIEN JIWA
Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003 48).
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien. Persoalan mendasar dan komunikasi in adalah adanya saling membutuhan antara perawat dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan pasien, perawat membantu dan pasien menerima bantuan (Indrawati, 2003 : 48).
Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan profesional. Akan tetapi, jangan sampai karena terlalu asyik bekerja, kemudian melupakan pasien sebagai manusia dengan beragam latar belakang dan masalahnya (Arwani, 2003 50).
Manfaat Komunikasi Terapeutik
Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Mengidentifikasi. mengungkap perasaan dan mengkaji masalah dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat (Indrawati, 2003 : 50).
Tujuan Komunikasi Terapeutik (Indrawati, 2003 48).
Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.
Kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien sangat dipengaruhi oleh kualitas hubungan perawat-klien, Bila perawat tidak memperhatikan hal ini, hubungan perawat-klien tersebut bukanlah hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang mempercepat kesembuhan klien, tetapi hubungan sosial biasa.
Jenis Komunikasi Terapeutik
Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya. Menurut Potter dan Perry (1993) dalam Purba (2003), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik.
Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen (1995) dalam Purba (2003) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non-verbal yang dimanifestasikan secara terapeutik.
1. Komunikasi Verbal
Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung.
Komunikasi Verbal yang efektif harus:
1) Jelas dan ringkas
Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil keniungkinan teijadinya kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana, kapan, siapa dan dimana. Ringkas, dengan menggunakan kata-kata yang mengekspresikan ide secara sederhana.
2) Perbendaharaan Kata (Mudah dipahami)
Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan kata dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan dalam keperawatan dan kedokteran, dan jika ini digunakan oleh perawat, klien dapat menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang dimengerti klien. Daripada mengatakan “Duduk, sementara saya akan mengauskultasi paru paru anda” akan lebih baik jika dikatakan “Duduklah sementara saya mendengarkan paru-paru anda”.
3) Arti denotatif dan konotatif
Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi perawat akan menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan yang mendekati kematian. Ketika berkomunikasi dengan keperawat harus hati-hati memilih kata-kata sehingga tidak mudah untuk disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan terapi, terapi dan kondisi klien.
4) Selaan dan kesempatan berbicara
Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan sesuatu terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada hal tertentu, memberi waktu kepada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya, menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan. Perawat juga bisa menanyakan kepada pendengar apakah ia berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat dan perlu untuk diulang.
5) Waktu dan Relevansi
Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien sedang menangis kesakitan, tidak waktunya untuk menjelaskan resiko operasi. Kendatipun pesan diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak tepat dapat menghalangi penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu, perawat harus peka terhadap ketepatan waktu untuk berkomunikasi. Begitu pula komunikasi verbal akan lebih bermakna jika pesan yang disampaikan berkaitan dengan minat dan kebutuhan klien.
6) Humor
Dugan (1989) dalam Purba (2003) mengatakan bahwa tertawa membantu pengurangi ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan meningkatkan keberhasilan perawat dalam memberikan dukungan emosional terhadap klien. Sullivan dan Deane (1988) dalam Purba (2006) melaporkan bahwa humor merangsang produksi catecholamines dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi pernapasan dan menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak mampuannya untuk berkomunikasi dengan klien.
2. Komunikasi Tertulis
Komunikasi tertulis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan dalam bisnis, seperti komunikasi melalui surat menyurat, pembuatan memo, laporan, iklan di surat kabar dan lain- lain.
Prinsip-prinsip komunikasi tertulis terdiri dari :
1) Lengkap
2) Ringkas
3) Pertimbangan
4) Konkrit
5) Jelas
6) Sopan
7) Benar
Fungsi komunikasi tertulis adalah:
1) Sebagai tanda bukti tertulis yang otentik, misalnya; persetujuan operasi.
2) Alat pengingat/berpikir bilamana diperlukan, misalnya surat yang telah diarsipkan.
3) Dokumentasi historis, misalnya surat dalam arsip lama yang digali kembali untuk mengetahui perkembangan masa lampau.
4) Jaminan keamanan, umpamanya surat keterangan jalan.
5) Pedoman atau dasar bertindak, misalnya surat keputusan, surat perintah, surat pengangkatan.
Keuntungan Komunikasi tertulis adalah:
1) Adanya dokumen tertulis
2) Sebagai bukti penerimaan dan pengiriman
3) Dapat meyampaikan ide yang rumit
4) Memberikan analisa, evaluasi dan ringkasan
5) menyebarkan informasi kepada khalayak ramai
6) Dapat menegaskan, menafsirkan dan menjelaskan komunikasi lisan.
7) Membentuk dasar kontrak atau perjanjian
8) Untuk penelitian dan bukti di pengadilan
Kerugian Komunikasi tertulis adalah:
1) Memakan waktu lama untuk membuatnya
2) Memakan biaya yang mahal
3) Komunikasi tertulis cenderung lebih formal
4) Dapat menimbulkan masalah karena salah penafsiran
5) Susah untuk mendapatkan umpan balik segera
6) Bentuk dan isi surat tidak dapat di ubah bila telah dikirimkan
7) Bila penulisan kurang baik maka akan membingungkan Si pembaca.
3. Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan kata-kata. Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan non-verbal yang disampaikan klien mulai dan saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat non verbal menambah arti terhadap pesan verbal. Perawat yang mendektesi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan keperawatan.
Morris (1977) dalam Liliweni (2004) membagi pesan non verbal sebagai berikut:
1) Kinesik
Kinesik adalah pesan non verbal yang diimplementasikan dalam bentuk bahasa isyarat tubuh atau anggota tubuh. Perhatikan bahwa dalam pengalihan informasi mengenai kesehatan, para penyuluh tidak saja menggunakan kata-kata secara verbal tetapi juga memperkuat pesan-pesan itu dengan bahasa isyarat untuk mengatakan suatu penyakit yang berbahaya, obat yang mujarab, cara memakai kondom, cara mengaduk obat, dan lain-lain.
2) Proksemik
Proksemik yaitn bahasa non verbal yang ditunjukkan oleh “ruang” dan “jarak” antara individu dengan orang lain waktu berkomunikasi atau antara individu dengan objek.
3) Haptik
Haptik seringkali disebut zero proxemics, artinya tidak ada lagi jarak di antara dua orang waktu berkomunikasi. Atas dasar itu maka ada ahli kumunikasi non verbal yang mengatakan haptik itu sama dengan menepuk-nepuk, meraba-raba, memegang, mengelus dan mencubit. Haptik mengkomunikasikan relasi anda dengan seseorang.
4) Paralinguistik
Paralinguistik meliputi setiap penggunaan suara sehingga dia bermanfaat kalau kita hendak menginterprestasikan simbol verbal. Sebagai contoh, orang-orang Muang Thai merupakan orang yang rendah hati, mirip dengan orang jawa yang tidak mengungkapkan kemarahan dengan suara yang keras. Mengeritik orang lain biasanya tidak diungkapkan secara langsung tetapi dengan anekdot. Ini berbeda dengan orang Batak dan Timor yang mengungkapkan segala sesuatu dengan suara keras.
5) Artifak
Kita memehami artifak dalam komunikasi komunikasi non verbal dengan pelbagai benda material disekitar kita, lalu bagaimana cara benda-benda itu digunakan untuk menampilkan pesan tatkala dipergunakan. Sepeda motor, mobil, kulkas, pakaian, televisi, komputer mungkin sekedar benda. Namun dalam situasi sosial tertentu benda-benda itu memberikan pesan kepada orang lain. Kita dapat menduga status sosial seseorang dan pakaian atau mobil yang mereka gunakan. Makin mahal mobil yang mereka pakai, maka makin tinggi status sosial orang itu.
6) Logo dan Warna
Kreasi pan perancang untuk menciptakan logo dalam penyuluhan merupaka karya komunikasi bisnis, namun model keija m dapat ditirn dalam komunikasi kesehatan. Biasanya logo dirancang untuk dijadikan simbol da suatu karaya organisasi atau produk da suatu organisasi, terutama bagi organisasi swasta. Bentuk logo umumnya berukuran kecil dengan pilihan bentuk, warna dan huruf yang mengandung visi dan misi organisasi.
7) Tampilan Fisik Tubuh
Acapkali anda mempunyai kesan tertentu terhadap tampilan fisik tubuh dari lawan bicara anda. Kita sering menilai seseorang mulai dari warna kulitnya, tipe tubuh (atletis, kurus, ceking, bungkuk, gemuk, gendut, dan lain-lain). Tipe tubuh itu merupakan cap atau warna yang kita berikan kepada orang itu. Salah satu keutamaan pesan atau informasi kesehatan adalah persuasif, artinya bagaimana kita merancang pesan sedemikian rupa sehingga mampu mempengaruhi orang lain agar mereka dapat mengetahui informasi, menikmati informasi, memutuskan untuk membeli atau menolak produk bisnis yang disebarluaskan oleh sumber informasi. (Liliweri, 2007:108).
Karakteristik Komunikasi Terapeutik
Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaitu sebagai berikut: (Arwani, 2003 : 54).
1. Ikhlas (Genuiness)
Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien barus bisa diterima dan pendekatan individu dengan verbal maupun non verbal akan memberikan bantuan kepada pasien untuk mengkomunikasikan kondisinya secara tepat.
2. Empati (Empathy)
Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi pasien. Obyektif dalam memberikan penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan.
3. Hangat (Warmth)
Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan pasien dapat memberikan dan mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut, sehingga pasien bisa mengekspresikan perasaannya lebih mendalam.
Fase – fase dalam komunikasi terapeutik
1. Orientasi (Orientation)
Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkal dan komunikasi yang terjadi bersifat penggalian informasi antara perawat dan pasien. Fase ini dicirikan oleh lima kegiatan pokok yaitu testing, building trust, identification of problems and goals, clarification of roles dan contract formation.
2. Kerja (Working)
Pada fase ini perawat dituntut untuk bekerja keras untuk memenuhi tujuan yang telah ditetapkan pada fase orientasi. Bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang masalah-masalah yang merintangi pencapaian tujuan. Fase ini terdiri dari dua kegiatan pokok yaitu menyatukan proses komunikasi dengan tindakan perawatan dan membangun suasana yang mendukung untuk proses perubahan.
3. Penyelesaian (Termination)
Paa fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas tujuan telah dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang saling menguntungkan dan memuaskan. Kegiatan pada fase ini adalah penilaian pencapaian tujuan dan perpisahan (Arwani, 2003 61).
Faktor – faktor penghambat komunikasi
Faktor-faktor yang menghambat komunikasi terapeutik adalah (Indrawati, 2003 : 21):
1. Perkembangan.
2. Persepsi.
3. Nilai.
4. Latar belakang sosial budaya.
5. Emosi.
6. Jenis Kelamin.
7. Pengetahuan.
8. Peran dan hubungan.
9. Lingkungan.
10. Jarak.
11. CitraDiri.
12. Kondisi Fisik.
STRESS DAN ADAPTASI
A. STRESS
a. Menurut Hans Selye, “stress adalah respons manusia yang bersifat nonspesifik terhadap setiap tuntutan kebutuhan yang ada dalam dirinya” (Pusdikes,Dep.Kes.1989)
b. ‘Stress adalah reaksi atau respons tubuh terhadap stressor psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan)” Dadang Hawari.2001
c. Stress adalah suatu kekuatan yang mendesak atau mencekam, yang menimbulkan suatu ketegangan dalam diri seseorang (Soeharto Heerdjan,1987)
d. Secara umum yang dimaksud stress adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang dapat menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan emosi dan lain-lain
e. Stress adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri dan karena itu sesuatu yang dapat mengganggu keseimbangan kita (Maramis,1999)
f. Menurut Vincent Cornelli, sebagaimana dikutip oleh Grant Brect (2000) bahwa yang dimaksud stress adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu didalam lingkungan tersebut.
2. Penyebab Stress
Timbulnya stress pada seseorang diawali dengan adanya stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan yang disebut dengan stressor. Stressor menunjukan suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa saja kebutuhan fisiologis psikologis sosial, lingkungan, perkembangan spiritual atau kebutuhan kulturan (Potter & Perry,1997).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya stress diantaranya:
a. Faktor biologis, herediter, konstitusi tubuh, kondisi fisik, neurofsiologik dan neurohormonal
b. Faktor sosio kultural, perkembangan kepribadian, pengalaman dan kondisi lain yang mempengaruhi.
Macam-macam stressor:
a. Stressor internal
Berasal dari dalam diri seseorang
b. Stressor eksternal
Berasal dari luar diri seseorang
Karakteristik Stressor:
a. Makna stressor
Bila stressor tersebut bermakna dalam hidup individu tersebut maka responnya akan besar
b. Lingkup stressor
Bila stressornya luas, maka responnya akan besar
c. Lamanya stressos
Bila stressor tersebut lama maka responnya akan besar
d. Jumlah stressor
Bila stressor yang ada bermacam-macam dalam waktu yang sama maka responnya akan besar
e. Kuatnya stressor
Makin kuat stressor dirasakan maka makin tinggi pula responnya.
Dampak stressor dipengaruhi oleh berbagai faktor (Kozier & Erb,1983 dikutip Keliat B.A.,1999) yaitu:
a. Sifat stressor
Pengetahuan individu tentang stressor tersebut dan pengaruhnya pada individu tersebut.
b. Jumlah stressor
Banyaknya stressor yang diterima individu dala waktu bersamaan.
c. Lama stressor
Seberapa sering individu menerima stressor yang sama. Makin sering individu mengalami hal yang sama maka akan timbul kelelahan dalam mengatasi masalah tersebut.
d. Pengalaman masa lalu
Pengalaman individu yang lalu mempengaruhi individu menghadapi masalah.
e. Tingkat perkembangan
Tiap individu tingkat perkembangannya berbeda
Menurut Maramis (1999), ada empat sumber atau penyebab stress psikologis, yaitu:
a. Frustasi
Hal ini timbul karena kegagalan dalam mencapai tujuan selain itu adanya aral melintang. Frustasi sendiri ada yang bersifat intrinsik dan frustasi ekstrinsik.
b. Koflik
Hal ini dapat terjadi karena seseorang tidak mampu memilih antara dua atau lebih macam keinginan, kebutuhan atau tujuan.
c. Tekanan
Timbul karena adanya tekanan dalam kehidupan sehari-hari. Tekanan ini dapat berasal dari individu dan luar individu.
d. Krisis
Krisis adalah suatu keadaan yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya stress.
3. Penggolongan Stress
Apabila ditinjau dari penyebab stress, menurut Sri Kusmiati dan Desminiarti (1990), dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Stress fisik
Disebabkan oleh adanya suhu atau temperatur yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, suara amat bising, sinar yang terlalu terang atau tersengat arus listrik.
b. Stress kimiawi
Disebabkan oleh asam basa kuat, obat-obatan, zat beracun, hormon atau gas.
c. Stress mikrobiologik
Disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang dapat menimbulkan penyakit.
d. Stress fisiologik
Disebabkan oleh gangguan struktur, fungsi jaringan, organ atau sistemik sehingga menimbulkan fungsi tubuh tidak normal.
e. Stress proses pertumbuhan dan perkembangan
Disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi hingga tua.
f. Stress psikis atau emosional
Disebabkan oleh gangguan hubungan interpersonal, sosial, budaya atau keagamaan.
Sedangkan menurut Brench Grand (2000), stress ditinjau dari penyebabnya hanya dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Penyebab makro
Menyangkut peristiwa besar dalam kehidupan, seperti: kematian, perceraian, pensiun, luka batin dan kebangkrutan.
b. Penyebab mikro
Menyangkut peristiwa kecil dalam kehidupan sehari-hari, seperti: pertengkaran rumah tangga, beban pekerjaan, masalah apa yang akan dimakan dan antri.
4. Tahapan Stress
Menurut Dr.Robert J.Van Amberg (1979) sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dadang Hawari (2001), bahwa tahapan stress adalah sebagai berikut:
a. Stress tahap pertama (paling ringan)
Stress yang disertai dengan perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki dan penglihatan menjadi tajam.
b. Stress tahap kedua
Stress yang disertai keluhan, seperti bangun pagi badan tidak tersasa segar dan merasa letih, lekas capek pada saat menjelang sore hari, lambung atau perut tidak nyaman, jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung menjadi tegang. Hal ini disebabkan karena cadangan tenaga yang tidak memadai.
c. Stress tahap ketiga
Tahapan stress dengan keluhan, seperti defekasi yang tidak teratur, otot semakin tegang, emosional, imsomnia, mudah terjaga dan sulit untuk tidur kembali, bangun terlalu pagi, koordinasi tubuh terganggu dan mau jatuh pingsan.
d. Stress tahap keempat
Tahapan stress dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terlalu sulit dan menjenuhkan, kegiatan rutin terganggu dan gangguan pada pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta dapat menimbulkan ketakutan serta kecemasan.
e. Stress tahap kelima
Tahapan stress yang disertai dengan kelelahan secara fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik.
f. Stress tahap keenam
Tahapan stress dengan tanda-tanda seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin dan keluar banyak keringat.
5. Reaksi Tubuh Terhadap Stress
Menurut Dadang Hawari (2001) bahwa dampak dari stress sendiri dapat mengenai hampir seluruh sistem tubuh, seperti hal-hal berikut:
a. Perubahan pada warna rambut dari hitam menjadi kecoklat-coklatan, ubanan atau kerontokan.
b. Gangguan pada penglihatan.
c. Tinitus (pendengaran berdering).
d. Daya mengingat, konsentrasi dan berpikir menurun.
e. Wajah nampak tegang, serius, tidak santai, sulit senyum dan kerutan pada kulit dan wajah.
f. Bibir dan mulut terasa kering dan tenggorokan terasa tercekik.
g. Kulit menjadi dingin atau panas, banyak berkeringat, biduran dan gatal-gatal.
h. Nafas terasa berata dan sesak.
i. Jantung berdebar-debar, muka merah dan pucat.
j. Lambung mual, kembung atau pedih.
k. Sering berkemih.
l. Otot sakit, seperti ditusuk-tusuk, pegal dan tegang.
m. Kadar gula meninggi.
n. Libido menurun atau meningkat.
6. Reaksi Psikologis Terhadap Stress
a. Kecemasan
Respons yang paling umum merupakan tanda bahaya yang menyatakan diri dengan suatu penghayatan yang khas, yang sukar digambarkan adalah emosi yang tidak menyenangkan dengan istilah kuatir, tegang, prihatin, takut seperti jantung berdebar-debar, keluar keringan dingin, mulut kering, tekanan darah tinggi dan susah tidur.
b. Kemarahan dan agresi
Perasaan jengkel sebagai respons terhadap kecenasan yang dirasakan sebagai ancaman. Merupakan reaksi umum lain terhadap situasi stress yang mungkin dapat menyebabkan agresi.
c. Depresi
Keadaan yang ditandai dengan hilangnya gairah dan semangat. Terkadang disertai rasa sedih.
7. Cara Mengedalikan Stress
Koping adalah cara yang dilakukan individu dalam meyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan keinginan yang akan dicapai dan respons terhadap situasi yang menjadi ancaman bagi individu.
Cara yang dapat dilakukan adalah :
a. Individu
1). Kenali diri sendiri
2). Turunkan kecemasan
3). Tingkatkan harga diri
4). Persiapan diri
5). Pertahankan dan tingkatkan cara yang sudah baik.
b. Dukungan sosial
1). Pemberian dukungan terhadap peningkatan kemampuan kognitif.
2). Ciptakan lingkungan keluarga yang sehat.
3). Berikan bimbingan mental dan spiritual untuk individu tersebut dari keluarga.
4). Berikan bimbingan khusus untuk individu.
Ada beberapa kiat untuk mengedalikan stress menurut Grand Brecht (2000), diantaranya sebagai berikut:
a. Sikap, keyakinan dan pikiran kita harus positif, fleksibel, rasional dan adaptif terhadap orang lain.
b. Mengendalikan faktor penyebab stress dengan jalan:
1). Kemampuan menyadari
2). Kemampuan untuk menerima
3). Kemampuan untuk menghadapi
4). Kemampuan untuk bertindak
c. Perhatikan diri anda, proses interpersonal dan interaktif, serta lingkungan anda.
d. Kembangkan sikap efisien
e. Relaksasi
f. Visualisasi
Selain kiat diatas ada beberapa teknik singkat untuk menghilangkan stress, misalnya melakukan pernafasan dalam, mandi santai dalam bak, tertawa, pijat, membaca, kecanduan positif (melakukan sesuatu yang disukai secara teratur), istirahat teratur dan mengobrol.
B. ADAPTASI
1. Pengertian Adaptasi
Adabeberapa pengertian tentang mekanisme penyesuaian diri, antara lain:
a. W.A Gerungan (1996) menyebutkan bahwa “Penyesuaian diri adalah mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan diri)”.
Mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan sifatnya pasif (autoplastik). Sebaliknya, apabila individu berusaha untuk mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan diri, sifatnya adalah aktif (alloplastik).
b. Menurut Soeharto Heerdjan (1987), “ Penyesuaian diri adalah usaha atau perilaku yang tujuannya mengatasi kesulitan dan hambatan”.
Adaptasi merupakan pertahanan yang didapat sejak lahir atau diperoleh karena belajar dari pengalaman untuk mengatasi stress. Cara mengatasi stress dapat berupa membatasi tempat terjadinya stress, mengurangi atau menetralisasi pengaruhnya.
Adaptasi adalah suatu cara penyesuaian yang berorientasi pada tugas (task oriented).
2. Tujuan Adaptasi
a. Menghadapi tuntutan keadaan secara sadar.
b. Menghadapi tuntutan keadaan secara realistik
c. Menghadapi tuntutan keadaan secara obyektif
d. Menghadapi tuntutan keadaan secara rasional
3. Macam-Macam Adaptasi
a. Adaptasi fisiologis
Adalah proses dimana respon tubuh terhadap stressor untuk mempertahankan fungsi kehidupan, dirangsang oleh faktor eksternal dan internal, respons dapat dari sebagian tubuh atau seluruh tubuh serta setiap tahap perkembangan punya stressor tertentu.
Mekanisme fisiologis adaptasi berfungsi melalui umpan balik negatif, yaitu suatu proses dimana mekanisme kontrol merasakan suatu keadaan abnormal seperti penurunan suhu tubuh dan membuat suatu respons adaptif seperti mulai mengigil untuk membangkitkan panas tubuh.
Ketiga dari mekanisme utama yang digunakan dalam menghadapi stressor dikontrol oleh medula oblongata, formasi retikuler dan hipofisis.
Riset klasik yang telah dilakukan oleh Hans Selye (1946,1976) telah mengidentifikasi dua respons fisiologis terhadap stress, yaitu:
1). LAS ( Lokal Adaptasion Syndrome)
Tubuh menghasilkan banyak respons setempat terhadap stres, responnya berjangka pendek
Karakteristik dari LAS:
a). Respon yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem.
b). Respons bersifat adaptif; diperlukan stressor untuk menstimulasikannya.
c). Respons bersifat jangka pendek dan tidak terus menerus.
d). Respons bersifat restorative.
2). GAS (General Adaptasion Syndrom)
Merupakan respons fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stress. Respons yang terlibat didalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin. Di beberapa buku teks GAS sering disamakan dengan Sistem Neuroendokrin.
GAS diuraikan dalam tiga tahapan berikut:
a). Fase alarm
Melibatkan pengerahan mekanisme pertahan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stressor seperti pengaktifan hormon yang berakibat meningkatnya volume darah dan akhirnya menyiapkan individu untuk bereaksi. Aktifitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan respons melawan atau menghindar. Respons ini bisa berlangsung dari menit sampai jam. Bila stressor menetap maka individu akan masuk kedalam fase resistensi.
b). Fase resistance (melawan)
Individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya kepada keadaan normal dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stress. Bila teratasi, gejala stress menurun atau normal. Bila gagal maka individu tersebut akan jatuh pada tahapan terakhir dari GAS yaitu: Fase kehabisan tenaga.
c). Fase exhaustion (kelelehan)
Merupakan fase perpanjangan stress yang belum dapat tertanggulangi pada fase sebelumnya. Tahap ini cadangan energi telah menipis atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu lagi menghadapi stress. Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap stressor inilah yang akan berdampak pada kematian individu tersebut.
b. Adaptasi psikologis
Perilaku adaptasi psikologi membantu kemampuan seseorang untuk menghadapi stressor, diarahkan pada penatalaksanaan stress dan didapatkan melalui pembelajaran dan pengalaman sejalan dengan pengidentifikasian perilaku yang dapat diterima dan berhasil.
Perilaku adaptasi psikologi dapat konstruktif atau destruktif. Perilaku konstruktif membantu individu menerima tantangan untuk menyelesaikan konflik. Perilaku destruktif mempengaruhi orientasi realitas, kemampuan pmecahan masalah, kepribadian dan situasi yang sangat berat, kemampuan untuk berfungsi.
Perilaku adaptasi psikologis juga disebut sebagai mekanisme koping. Mekanisme ini dapat berorientasi pada tugas, yang mencakup penggunaan teknik pemecahan masalah secara langsung untuk menghadapi ancaman atau dapat juga mekanisme pertahanan ego, yang tujuannya adalah untuk mengatur distress emosional dan dengan demikian memberikan perlindungan individu terhadap ansietas dan stress. Mekanisme pertahanan ego adalah metode koping terhadap stress secara tidak langsung.
1). Task oriented behavior
Perilaku berorientasi tugas mencakup penggunaan kemampuan kognitif untuk mengurangi stress, memecahkan masalah, menyelesaikan konflik dan memenuhi kebutuhan (Stuart & Sundeen, 1991). Tiga tipe umum perilaku yang berorientasi tugas adalah:
a). Perilaku menyerang
Adalah tindakan untuk menyingkirkan atau mengatasi suatu stressor.
b). Perilaku menarik diri
Adalah menarik diri secara fisik atau emosional dari stressor.
c). Perilaku kompromi
Adalah mengubah metode yang biasa digunakan, mengganti tujuan atau menghilangkan kepuasan terhadap kebutuhan untuk memenuhi lain atau untuk menghindari stress.
2). Ego Dependen Mekanism
Perilaku tidak sadar yang memberikan perlindungan psikologis terhadap peristiwa yang menegangkan (Sigmund Frued). Mekanisme ini sering kali diaktifkan oleh stressor jangka pendek dan biasanya tidak mengakibatkan gangguan psikiatrik.Adabanyak mekanisme pertahanan ego, yaitu:
a). Represi
Menekan keinginan, impuls/dorongan, pikiran yang tidak menyenagkan ke alam tidak sadar dengan cara tidak sadar.
b). Supresi
Menekan secara sadar pikiran, impuls, perasaan yang tidak menyenangkan ke alam tidak sdar.
c). Reaksi formasi
Tingkah laku berlawanan dengan perasaan yang mendasari tingkah laku tersebut.
d). Kompensasi
Tingkah laku menggantikan kekurangan dengan kelebihan yang lain
– Kompensasi langsung
– Kompensasi tidak langsung
e). Rasionalisasi
Berusaha memperlihatkan tingkah laku yang tampak sebagai pemikiran yang logis bukan karenakeinginan yang tidak disadari.
f). Substitusi
Mengganti obyek yang bernilai tinggi dengan obyek yang kurang bernilai tetapi dapat diterima oleh masyarakat.
g). Restitusi
Mengurangi rasa bersalah dengan tindakan pengganti.
h). Displacement
Memindahkan perasaan emosional dari obyek sebenarnya kepada obyek pengganti.
i). Proyeksi
Memproyeksikan keinginan, perasaan, impuls, pikiran pada orang lain/obyek lain/lingkungan untuk mengingkari.
j). Simbolisasi
Menggunakan obyek untuk mewakili ide/emosi yang menyakitkan untuk diekspresikan
k). Regresi
Ego kembali pada tingkat perkembangan sebelumnya dalam pikiran, perasaan dan tingkah lakunya.
l). Denial
Mengingkari pikiran, keinginan, fakta dan kesedihan.
m). Sublimasi
Memindahkan energi mental (dorongan)yang tidak dapat diterima kepada tujuan yang dapat diterima masyarakat.
n). Konvesi
Pemindahan konflik mental pada gejala fisik
o). Introyeksi
Mengambil alih semua sifat dari orang yang berarti menjadi bagian dari kepribadiannya sekarang.
c. Adaptasi perkembangan
Pada setiap tahap perkembangan, seseorang biasanya menghadapi tugas perkembangan dan menunjukkan karakteristik perilaku dari tahap perkembangan tersebut. Stress yang berkepanjangan dapat mengganggu atau menghambat kelancaran menyelesaikan tahap perkembangan tersebut. Dalam bentuj ekstrem, stress yang berkepanjangan dapat mengarah pada krisis pendewasaan.
Bayi atau anak kecil umumnya menghadsapi stressor di rumah. Jika diasuh dalam lingkungan yang responsive dan empati, mereka mampu mengembangkan harga diri yang sehat dan pada akhirnya belajar respons koping adaptif yang sehat (Haber et al, 1992)
Anak-anak usia sekolah biasanya mengembangkan rasa kecukupan. Mereka mulai menyadari bahwa akumulasi pengetahuan dan penguasaan keterampilan dapat membantu mereka mencapai tujuan, dan harga diri berkembang melalui hubungan berteman dan saling berbagi diantara teman. Pada tahap ini, stress ditunjukan oleh ketidakmampuan atau ketidakinginan untuk mengembangkan hubungan berteman.
Remaja biasanya mengembangkan rasa identitas yang kuat tetapi pada waktu yang bersamaan perlu diterima oleh teman sebaya. Remaja dengan sistem pendukung sosial yang kuat menunjukkan suatu peningkatan kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap stressor, tetapiremaja tanpa sistem pendukung sosial sering menunjukan peningkatan masalah psikososial (Dubos,1992).
Dewasa muda berada dalam transisi dari pengalaman masa remaja ke tanggung jawab orang dewasa. Konflik dapat berkembang antara tanggung jawab pekerjaan dan keluarga. Stressor mencakup konflik antara harapan dan realitas.
Usia setengah baya biasanya terlibat dalam membangun keluarga, menciptakan karier yang stabil dan kemungkinan merawat orang tua mereka. Mereka biasanya dapat mengontrol keinginan dan pada beberapa kasus menggantikan kebutuhan pasangan, anak-anak, atau orang tua dari kebutuhan mereka.
Usia lansia biasanya menghadapi adaptasi terhadap perubahan dalam keluarga dan kemungkinan terhadap kematian dari pasangan atau teman hidup. Usia dewasa tua juga harus menyesuaikan terhadap perubahan penampilan fisik dan fungsi fisiologis.
d. Adaptasi sosial budaya
Mengkaji stressor dan sumber koping dalam dimensi sosial mencakup penggalian tentang besaranya, tipe dan kualitas dari interaksi sosial yang ada. Stressor pada keluarga dapat menimbulkan efek disfungsi yang mempengaruhi klien atau keluarga secara keseluruhan (Reis & Heppner, 1993).
c. Adaptasi spiritual
Orang menggunakan sumber spiritual untuk mengadaptasi stress dalam banyak cara, tetapi stress dapat juga bermanifestasi dalam dimensi spiritual. Stress yang berat dapat mengakibatkan kemarahan pada Tuhan, atau individu mungkin memandang stressor sebagai hukuman.
enam faktor pengaruh kesehatan manusia
eutanasia
MAKALAH EUTHANASIA
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott
Penting !!! ternyata komedo isinya cacing.flv
PENGERTIAN KEPERAWATAN
KONSEP DASAR KESEHATAN & KEPERAWATAN JIWA
KONSEP DASAR KESEHATAN & KEPERAWATAN JIWA
________________________________________________________________________
Kesehatan Jiwaadalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
:
Kesehatan jiwa meliputi
· Bagaimana perasaan anda terhadap diri sendiri
· Bagaimana perasaan anda terhadap orang lain
· Bagaimana kemampuan anda mengatasi persoalan hidup anda Sehari – hari.
Beberapa pengertian manusia:
- Individu yang holistik: terdiri dari jasmani dan ‘rohani’.
- Terdiri dari komponen jasmani, akal, jiwa dan qalbu (ruh)
- Struktur jiwa manusia terdiri dari id (insting-prinsip kepuasan), ego (kesadaran realitas-prinsip realitas), super ego/ moralitas-prinsip moralitas (Teori Freud)
________________________________________________________________
1.2KRITERIA SEHAT MENTAL MENURUT YAHODA
- Sikap positif terhadap diri sendiri
- Tumbuh, berkembang dan aktualisasi
- Integrasi : Masa lalu dan sekarang
- Otonomi dalam pengambilan kupusan
- Persepsi sesuai kenyataan
- Menguasai lingkungan : mampu beradaptasi
___________________________________________________________
1.3 RENTANG SEHAT JIWA
- Dinamis bukan titik statis
- Rentang dimulai dari sehat optimal – mati
- Ada tahap-tahap
- Adanya variasi tiap individu
- Menggambarkan kemampuan adaptasi
- Berfungsi secara efektif : sehat
_____________________________________________________
1.4 PENGERTIAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
a. Menurut American Nurses Associations (ANA)
Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada (American Nurses Associations).
b. Menurut WHO
Kes. Jiwa bukan hanya suatu keadaan tdk ganguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik yg adalah perawatan langsung, komunikasi dan management, bersifat positif yg menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yg mencerminkan kedewasaan kepribadian yg bersangkutan.
c. Menurut UU KES. JIWA NO 03 THN 1966
Kondisi yg memungkinkan perkembangan fisik, intelektual emosional secara optimal dari seseorang dan perkebangan ini selaras dgn orang lain.
Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan pada ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa ( komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan kesehatan jiwa ) melalui pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien (individu, keluarga, kelompok komunitas ).
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh sebagai manusia.
Prinsip keperawatan jiwa terdiri dari empat komponen yaitu manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan.
- Manusia
Fungsi seseorang sebagai makhluk holistik yaitu bertindak, berinteraksi dan bereaksi dengan lingkungan secara keseluruhan. Setiap individu mempunyai kebutuhan dasar yang sama dan penting. Setiap individu mempunyai harga diri dan martabat. Tujuan individu adalah untuk tumbuh, sehat, mandiri dan tercapai aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk berubah dan keinginan untuk mengejar tujuan personal. Setiap individu mempunyai kapasitas koping yang bervariasi. Setiap individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputuasan. Semua perilaku individu bermakna dimana perilaku tersebut meliputi persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan.
- Lingkungan
Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam dirinya dan lingkungan luar, baik keluarga, kelompok, komunitas. Dalam berhubungan dengan lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi koping yang efektif agar dapat beradaptasi. Hubungan interpersonal yang dikembangkan dapat menghasilkan perubahan diri individu.
- Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang menunjukkan salah satu segi kualitas hidup manusia, oleh karena itu, setiap individu mempunyai hak untuk memperoleh kesehatan yang sama melalui perawatan yang adekuat.
- Keperawatan
Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan menggunakan diri sendiri secara terapeutik.
Metodologi dalam keperawatan jiwa adalah menggunakan diri sendiri secara terapeutik dan interaksinya interpersonal dengan menyadari diri sendiri, lingkungan, dan interaksinya dengan lingkungan. Kesadaran ini merupakan dasar untuk perubahan. Klien bertambah sadar akan diri dan situasinya, sehingga lebih akurat mengidentifikasi kebutuhan dan masalah serta memilih cara yang sehat untuk mengatasinya. Perawat memberi stimulus yang konstruktif sehingga akhirnya klien belajar cara penanganan masalah yang merupakan modal dasar dalam menghadapi berbagai masalah.
Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien, dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal ( Carpenito, 1989 dikutip oleh Keliat,1991).
Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik tersebut, yaitu proses keperawatan. Penggunaan proses keperawatan membantu perawat dalam melakukan praktik keperawatan, menyelesaikan masalah keperawatan klien, atau memenuhi kebutuhan klien secara ilmiah, logis, sistematis, dan terorganisasi. Pada dasarnya, proses keperawatan merupakan salah satu teknik penyelesaian masalah (Problem solving).
Proses keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien sehingga mutu pelayanan keperawatan menjadi optimal. Kebutuhan dan masalah klien dapat diidentifikasi, diprioritaskan untuk dipenuhi, serta diselesaikan. Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat dapat terhindar dari tindakan keperawatan yang bersifat rutin, intuisis, dan tidak unik bagi individu klien. Proses keperawatan mempunyai ciri dinamis, siklik, saling bergantung, luwes, dan terbuka. Setiap tahap dapat diperbaharui jika keadaan klien klien berubah.
Tahap demi tahap merupakan siklus dan saling bergantung. Diagnosis keperawatan tidak mungkin dapat dirumuskan jika data pengkajian belum ada. Proses keperawatan merupakan sarana / wahana kerja sama perawat dan klien. Umumnya, pada tahap awal peran perawat lebih besar dari peran klien, namun pada proses sampai akhir diharapkan sebaliknya peran klien lebih besar daripada perawat sehingga kemandirian klien dapat tercapai. Kemandirian klien merawat diri dapat pula digunakan sebagai kriteria kebutuhan terpenuhi dan / atau masalah teratasi.
Manfaat Proses Keperawatan Bagi Perawat.
a. Peningkatan otonomi, percaya diri dalam memberikan asuhan keperawatan.
b. Tersedia pola pikir/ kerja yang logis, ilmiah, sistematis, dan terorganisasi.
c. Pendokumentasian dalam proses keperawatan memperlihatkan bahwa perawat bertanggung jawab dan bertanggung gugat.
d. Peningkatan kepuasan kerja.
e. Sarana/wahana desimasi IPTEK keperawatan.
f. Pengembangan karier, melalui pola pikir penelitian.
Bagi Klien
a. Asuhan yang diterima bermutu dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Partisipasi meningkat dalam menuju perawatan mandiri (independen care).
c. Terhindar dari malpraktik.
Keperawatan Jiwa merupakan suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya. Praktik keperawatan jiwa terjadi dalam konteks sosial dan lingkungan. Perawat jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu-ilmu psikososial, biofisik, teori-teori kepribadian dan perilaku manusia untuk menurunkan suatu kerangka kerja teoritik yang menjadi landasan praktik keperawatan.
Kesehatan jiwa merupakan kondisi yang memfasilitasi secara optimal dan selaras dengan orang lain, sehingga tercapai kemampuan menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat dan lingkungan, keharmonisan fungsi jiwa, yaitu sanggup menghadapi problem yang biasa terjadi dan merasa bahagia. Sehat secara utuh mencakup aspek fisik, mental, sosial, dan pribadi yang dapat dijelaskan sebagi berikut.Kesehatan fisik, yaitu proses fungsi fisik dan fungsi fisiologis, kepadanan, dan efisiensinya.
Indikator sehat fisik yang paling minimal adalah tidak ada disfungsi, dengan indikator lain (mis. tekanan darah, kadar kolesterol, denyut nadi dan jantung, dan kadar karbon monoksida) biasa digunakan untuk menilai berbagai derajat kesehatan.Kesehatan mental/psikologis/jiwa, yaitu secara primer tentang perasaan sejahtera secara subjektif, suatu penilaian diri tentang perasaan seseorang, mencakup area seperti konsep diri tentang kemampuan seseorang, kebugaran dan energi, perasaan sejahtera, dan kemampuan pengendalian diri internal, indikator mengenai keadaan sehat mental/psikologis/jiwa yang minimal adalah tidak merasa tertekan/ depresi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesehatan dan merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, dan sosial individu secara optimal, dan selaras dengan perkembangan dengan orang lain.
Kesehatan sosial, yaitu aktivitas sosial seseorang. Kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas, berperan, dan belajar berbagai keterampilan untuk berfungsi secara adaptif di dalam masyarakat. Indikator mengenai status sehat sosial yang minimal adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas dan keterampilan dasar yang sesuai dengan peran seseorang.
Kesehatan pribadi adalah suatu keadaan yang melampaui berfungsinya secara efektif dan adekuat dari ketiga aspek tersebut di atas, menekankan pada kemungkinan kemampuan, sumber daya, bakat dan talenta internal seseorang, yang mungkin tidak dapat/ akan ditampilkan dalam suasana kehidupan sehari-hari yang biasa.
Menurut pedoman asuhan keperawatan jiwa rumah sakit umum atau pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) sehat pribadi berarti bahwa di dalam diri seseorang terdapat potensi dan kemampuan untuk memenuhi dan menyelesaikan dimensi lain dari dirinya, hal yang tidak bersifat instrumental, dan yang memungkinkan perkembangan optimal seseorang. Indikator minimal dari kesehatan pribadi adalah ada minat yang nyata terhadap aktivitas dan pengalaman yang memungkinkan seseorang untuk menembus keadaan “status quo”.
Psikiatri dan kesehatan jiwa Indonesia menggunakan pendekatan elektik-holistik yang melihat manusia dan perilakunya baik dalam keadaan sehat maupun sakit, sebagai kesatuan yang utuh dari unsur-unsur organo-biologis (bio-sistem), psiko edukatif/ psikodinamik (psiko-sistem), dan sosio-kultural (sosio-sistem).
Pendekatan ini berarti bahwa kita harus dapat melihat kondisi manusia dan perilakunya, baik dalam kondisi sehat maupun sakit, secara terinci “detail” dalam ketiga aspek tersebut di atas (ekletik), tetapi menyadari bahwa ketiga aspek tersebut saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai satu sistem (holistik).
Jadi jelas dengan pendekatan ini kita memperhatikan faktor psikologis dan sosial atau psikososial di samping faktor biologis di dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Proses keperawatan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang unik karena masalah kesehaan jiwa mungkin tidak dapat dilihat langsung, saperti pada masalah kesehatan fisik yang memperlihatkan bermacam gejala dan disebabkan berbagai hal. Kejadian masa lalu yang sama dengan kejadian saat ini, tetapi mungkin muncul gejala yang berbeda dan kontradiksi. Kemampuan mereka untuk berperan dalam menyelesaikan masalah juga bervariasi.
Hubungan saling percaya antara perawat dan klien merupakan dasar utama dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa. Hal ini penting karena peran perawat dalam asuhan keperawatan jiwa adalah membantu klien untuk dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Klien mungkin menghindar atau menolak berperan serta dan perawat mungkin cenderung membiarkan, khususnya terhadap klien yang tidak menimbulkan keributan dan tidak membahayakan.
Hal itu harus dihindari karena :
- Belajar menyelesaikan masalah akan lebih efektif jika klien ikut berperan serta.
- Dengan menyertakan klien maka pemulihan kemampuan klien dalam mengendalikan kehidupannya lebih mungkin tercapai.
- Dengan berperan serta maka klien belajar bertanggung jawab terhadap pelakunya.
Peran dan Fungsi Perawat Jiwa Defenisi dan Uraian Keperawatan Jiwa
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. Sistem pasien atau klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas. ANA mendefiniskan keperawatan kesehatan jiwa sebagai Suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan pengunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya. Praktik kontemporer keperawatan jiwa terjadi dalam konteks sosial dan lingkungan.
Peran keperawatan jiwa profesional berkembang secara kompleks dari elemen historis aslinya. Peran tersebut kini mencakup dimensi kompetensi klinis, advokasi pasien-keluarga, tanggung jawab fiskal, kolaborasi antardisiplin, akuntabilitas sosial, dan parameter legal-etik.
Center for Mental Health Services secara resmi mengakui keperawatan kesehatan jiwa sebagai salah satu dari lima inti disiplin kesehatan jiwa. Perawat jiwa menggunakan pengetahuan dari ilmu psikososial, biofisik,, teori kepribadian, dan perilaku manusia untuk mendapatkan suatu kerangka berpikir teoritis yang mendasari praktik keperawatan.
Berikut ini adalah dua tingkat praktik keperawatan klinis kesehatan jiwa yang telah diidentifikasi.
1. Psychiatric-mental health registered nurse (RN)
adalah perawat terdaftar berlisensi yang menunjukkan keterampilan klinis dalam keperawatan kesehatan jiwa melebihi keterampilan perawat baru di lapangan. Sertifikasi adalah proses formal untuk mengakui bidang keahlian klinis perawat.
2. Advanced practice registered nurse ini psychiatric-mental health (APRN-PMH)
adalah perawat terdaftar berlisensi yang minimal berpendidikan tingkat master, memiliki pengetahuan mendalam tentang teori keperawatan jiwa, membimbing praktik klinis, dan memiliki kompetensi keterampilan keperawatan jiwa lanjutan. Perawat kesehatan jiwa pada praktik lanjutan dipersiapkan untuk memiliki gelar master dan doktor dalam bidang keperawatan atau bidang lain yang berhubungan.
3. Rentang Asuhan Tatanan Tradisional
Untuk perawat jiwa meliputi fasilitas psikiatri, pusat kesehatan jiwa masyarakat, unit psikitari di rumah sakit umum, fasilitas residential, dan praktik pribadi. Namun, dengan adanya reformasi perawatan kesehatan, timbul suatu tatanan alternatif sepanjang rentang asuhan bagi perawat jiwa.
Banyak rumah sakit secara spesifik berubah bentuk menjadi sistem klinis terintegrasi yang memberikan asuhan rawat inap, hospitalisasi parsial atau terapi harian, perawatan residetial, perawatan di rumah, dan asuhan rawat jalan.
Tatanan terapi di komunitas saat ini berkembang menjadi foster care atau group home, hospice, lembaga kesehatan rumah, asosiasi perawat kunjungan, unit kedaruratan, shelter, nursing home, klinik perawatan utama, sekolah, penjara, industri, fasilitas managed care, dan organisasi pemeliharaan kesehatan.
Tiga domain praktik keperawatan jiwa kontemporer meliputi :
(1) Aktivitas asuhan langsung
(2) Aktivitas komunikasi
(3) Aktivitas penatalaksanaan
Fungsi penyuluhan, koordinasi, delegasi, dan kolaborasi pada peran perawat ditunjukkan dalam domain praktik yang tumpang tindih ini.Berbagai aktivitas perawat jiwa dalam tiap-tiap domain dijelaskan lebih lanjut. Aktivitas tersebut tetap mencerminkan sifat dan lingkup terbaru dari asuhan yang kompeten oleh perawat jiwa walaupun tidak semua perawat berperan serta pada semua aktivitas.
Selain itu, perawat jiwa mampu melakukan hal-hal berikut ini:
- Membuat pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka terhadap budaya.
- Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan untuk pasien dan keluarga yang mengalami masalah kesehatan kompleks dan kondisi yang dapat menimbulkan sakit.
- Berperan serta dalam aktivitas manajemen kasus, seperti mengorganisasi, mengakses, menegosiasi, mengordinasi, dan mengintegrasikan pelayanan perbaikan bagi individu dan keluarga.
- Memberikan pedoman perawatan kesehatan kepada individu, keluarga,dan kelompok untuk menggunakan sumber kesehatan jiwa yang tersedia di komunitas termasuk pemberian perawatan, lembaga,teknologi,dan sistem sosial yang paling tepat.
- Meningkatkan dan memelihara kesehatan jiwa serta mengatasi pengaruh gangguan jiwa melalui penyuluhan dan konseling.
- Memberikan asuhan kepada pasien penyakit fisik yang mengalami masalah psiokologis dan pasien gangguan jiwa yang mengalami masalah fisik.
- Mengelola dan mengordinasi sistem asuhan yang mengintegrasikan kebutuhan pasien, keluarga,staf, dan pembuat kebijakan.
____________________________________________________________________________
1. 5 PRINSIP-PRINSIP KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
- Roles and functions of psychiatric nurse : competent care (Peran dan fungsi keperawatan jiwa : yang kompeten).
- Therapeutic Nurse patient relationship (hubungan yang terapeutik antara perawat dengan klien).
- Conceptual models of psychiatric nursing (konsep model keperawatan jiwa).
- Stress adaptation model of psychiatric nursing (model stress dan adaptasi dalam keperawatan jiwa).
- Biological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan biologis dalam keperawatan jiwa).
- Psychological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan psikologis dalam keperawatan jiwa).
- Sociocultural context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan sosial budaya dalam keperawatan jiwa).
- Environmental context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan lingkungan dalam keperawatan jiwa).
- Legal ethical context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan legal etika dalam keperawatan jiwa).
- Implementing the nursing process : standards of care (penatalaksanaan proses keperawatan : dengan standar- standar perawatan).
- Actualizing the Psychiatric Nursing Role : Professional Performance Standards (aktualisasi peran keperawatan jiwa: melalui penampilan standar-standar professional).
__________________________________________________________________________________
1.6 PERKEMBANGAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
Menangani klien yang memiliki masalah sikap, perasaan dan konflik
↓
Pencegahan primer
↓
Penanganan multidisiplin
↓
Spesialisasi keperawatan jiwa
DULU:
Pasien Gangguan Jiwa dianggap sampah, memalukan dipasung
SEKARANG :
–Meningkatkan Iptek
– Pengetahuan masyarakat tentang gangguan jiwa meningkat
– Perlu pemahaman tentang human right
– Penting meningkatkan mutu pelayanan dan perlindungan konsumen.
______________________________________________________________________
1.7 KONSEPTUAL MODEL KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
Tabel 1
Model |
View of behavioral deviation |
Therapeutic process |
Roles of a patient & therapist |
||
Psychoanalytical (freud, Erickson) |
Ego tidak mampu mengontrol ansietas, konflik tidak selesai |
Asosiasi bebas & analisa mimpi Transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu |
Klien: mengungkapkan semua pikiran & mimpi Terapist : menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien |
||
Interpersonal (Sullivan, peplau) |
Ansietas timbul & dialami secara interpersonal, basic fear is fear of rejection |
Build feeling security Trusting relationship & interpersonal satisfaction |
Patient: share anxieties Therapist : use empathy & relationship |
||
Social (caplan,szasz) |
Social & environmental factors create stress, which cause anxiety &symptom |
Environment manipulation & social support |
Pasien: menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat Terapist: menggali system social klien |
||
Existensial (Ellis, Rogers) |
Individu gagal menemukan dan menerima diri sendiri |
Experience in relationship, conducted in group Encouraged to accept self & control behavior |
Klien: berperan serta dalam pengalaman yang berarti untuk mempelajari diri Terapist: memperluas kesadaran diri klien |
||
Supportive Therapy (Wermon,Rockland) |
Faktor biopsikososial & respon maladaptive saat ini |
Menguatkan respon koping adaptif |
Klien: terlibat dalam identifikasi coping Terapist: hubungan yang hangta dan empatik |
||
Medical (Meyer,Kreaplin) |
Combination from physiological, genetic, environmental & social |
Pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik & teknik interpersonal |
Klien: menjalani prosedur diagnostic & terapi jangka panjang Terapist : Therapy, Repport effects,Diagnose illness, Therapeutic Approach |
Berdasarkan konseptual model keperawatan diatas, maka dapat dikelompokkan ke dalam 6 model yaitu:
1. Psycoanalytical (Freud, Erickson)
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapt terjadi pada seseorang apabila ego(akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau insting). Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama(super ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (deviation of Behavioral).
Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik intrapsikis terutama pada masa anak-anak. Misalnya ketidakpuasan pada masa oral dimana anak tidak mendapatkan air susu secara sempurna, tidak adanya stimulus untuk belajar berkata- kata, dilarang dengan kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya pada fase oral dan sebagainya. Hal ini akan menyebabkan traumatic yang membekas pada masa dewasa.
Proses terapi pada model ini adalah menggunakan metode asosiasi bebas dan analisa mimpi, transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya klien dibuat dalam keadaan ngantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak berdaya pengalaman alam bawah sadarnya digali dengamn pertanyaan-pertanyaan untuk menggali traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal dengan metode hypnotic yang memerlukan keahlian dan latihan yang khusus.
Dengan cara demikian, klien akan mengungkapkan semua pikiran dan mimpinya, sedangkan therapist berupaya untuk menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien.
Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian mengenai keadaan-keadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna pada masa lalu misalnya ( pernah disiksa orang tua, pernah disodomi, diperlakukan secar kasar, diterlantarkan, diasuh dengan kekerasan, diperkosa pada masa anak), dengan menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik setelah terjalin trust (saling percaya).
2. Interpersonal ( Sullivan, peplau)
Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bias muncul akibat adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety). Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep ini perasaan takut seseorang didasari adnya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitarnya.
Proses terapi menurut konsep ini adalh Build Feeling Security (berupaya membangun rasa aman pada klien), Trusting Relationship and interpersonal Satisfaction (menjalin hubungan yang saling percaya) dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain sehingga klien merasa berharga dan dihormati.
Peran perawat dalam terapi adalah share anxieties (berupaya melakukan sharing mengenai apa-apa yang dirasakan klien, apa yang biasa dicemaskan oleh klien saat berhubungan dengan orang lain), therapist use empathy and relationship ( perawat berupaya bersikap empati dan turut merasakan apa-apa yang dirasakan oleh klien). Perawat memberiakan respon verbal yang mendorong rasa aman klien dalam berhubungan dengan orang lain.
3. Social ( Caplan, Szasz)
Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku apabila banyaknya factor social dan factor lingkungan yang akan memicu munculnya stress pada seseorang ( social and environmental factors create stress, which cause anxiety and symptom).
Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam konsep model ini adalah environment manipulation and social support ( pentingnya modifikasi lingkungan dan adanya dukungan sosial)
Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah pasien harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri. Sedangkan therapist berupaya : menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di kantor, di sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.
4. Existensial ( Ellis, Rogers)
Menurut teori model ekistensial gangguan perilaku atau gangguan jiwa terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu tidak memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan mengalami gangguan dalam Bodi-image-nya
Prinsip dalam proses terapinya adalah : mengupayakan individu agar berpengalaman bergaul dengan orang lain, memahami riwayat hidup orang lain yang dianggap sukses atau dapat dianggap sebagai panutan(experience in relationship), memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi (self assessment), bergaul dengan kelompok sosial dan kemanusiaan (conducted in group), mendorong untuk menerima jatidirinya sendiri dan menerima kritik atau feedback tentang perilakunya dari orang lain (encouraged to accept self and control behavior).
Prinsip keperawatannya adalah : klien dianjurkan untuk berperan serta dalam memperoleh pengalaman yang berarti untuk memperlajari dirinya dan mendapatkan feed back dari orang lain, misalnya melalui terapi aktivitas kelompok. Terapist berupaya untuk memperluas kesadaran diri klien melalui feed back, kritik, saran atau reward & punishment.
5. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial dan respo maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti : mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah seperti : susah bergaul, menarik diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.
Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif, individu diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan masalahnya.
Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping yang dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin hubungan yang hangat dan empatik dengan klien untuk menyiapkan coping klien yang adaptif.
6. Medica ( Meyer, Kraeplin)
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor yang kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial. Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian terapi, laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan menentukan jenis pendekatan terapi yang digunakan.
_________________________________________________________________
1.8 PERAN PERAWAT KESEHATAN JIWA
- Pengkajian yg mempertimbangkan budaya
- Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan
- Berperan serta dlm pengelolaan kasus
- Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental, mengatasi pengaruh penyakit mental – penyuluhan dan konseling
- Mengelola dan mengkoordinasikan sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan pasien, keluarga staf dan pembuat kebijakan
- Memberikan pedoman pelayana kesehatan
___________________________________________
1.9 ASUHAN YANG KOMPETEN BAGI PERAWAT JIWA ( COMPETENT OFCARING )
- Pengkajian biopsikososial yang peka terhadap budaya.
- Merancang dan implementasi rencana tindakan untuk klien dan keluarga.
- Peran serta dalam pengelolaan kasus: mengorganisasikan, mengkaji, negosiasi, koordinasi pelayanan bagi individu dan keluarga.
- Memberikan pedoman pelayanan bagi individu, keluarga, kelompok, untuk menggunakan sumber yang tersedia di komunitas kesehatan mental, termasuk pelayanan terkait, teknologi dan sistem sosial yang paling tepat.
- Meningkatkan dan memelihara kesehatanmental serta mengatasi pengaruh penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.
- Memberikan askep pada penyakit fisik yang mengalami masalah psikologis dan penyakit jiwa dengan masalah fisik.
- Mengelola dan mengkoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan klien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan.
Daftar Pustaka
Keliat, Budi Anna;Panjaitan;Helena. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Ed.2. Jakarta: EGC.
Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep,Iyus.2007. Keperawatan Jiwa. Jakarta: PT. Refika Aditama.